Pendahuluan
Konsep perdagangan dan lingkungan jarang sekali dapat
dipisahkan. Dalam ruang lingkup dunia internasional, banyak negara seringkali
bergantung kepada sumber daya alam yang dimilikinya sebagai salah satu sumber
utama penghasilannya. Bagi Indonesia, salah satu komoditas ekspor utama adalah produk
kelapa sawit. Tidak hanya demikian, Indonesia merupakan salah satu produsen dan
eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2020, Indonesia
berkontribusi dalam memenuhi 46,8% kebutuhan kelapa sawit di dunia serta juga
memproduksi 26,897 juta ton produk pada tahun 2021.[1] Tidak terbatas
pada Indonesia saja, berbagai negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand
juga memiliki perkebunan kelapa sawit serta industri minyak kelapa sawit dengan
skala yang juga besar.
Namun disisi lain, masifnya usaha perkebunan kelapa sawit
serta produksi minyaknya tentu saja menimbulkan berbagai dampak samping yang buruk,
terutama terhadap lingkungan. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit kerap kali
dilakukan di suatu daerah yang sebelumnya merupakan hutan. Pembukaan tersebut
mengakibatkan perlepasan 60% karbon yang sebelumnya terdapat di dalam hutan itu
ke atmosfir, sehingga berkonstribusi pada pemanasan global. Setiap hektar
pembukaan suatu lahan perkebunan sawit dapat melepaskan 174 ton karbon
dioksida. Tidak hanya sebatas pada hal tersebut, pembukaan lahan untuk
perkebunan sawit juga berakibat pada rusaknya keanekaragaman suatu daerah dan
juga hilangnya habitat bagi satwa-satwa yang di dalamnya.[2]
Permasalahan ini, disamping juga masalah-masalah
lingkungan lain, menjadi salah satu hal yang mendorong dibentuknya berbagai
kebijakan-kebijakan lingkungan di dunia yang semakin sadar akan kelestarian lingkungan.
Terhadap produksi produk-produk minyak kelapa sawit (atau dapat juga disebut sebagai
crude palm oil, atau CPO), salah satu
kebijakan yang dibuat dapat ditemukan di Uni Eropa. Pada tahun 2017, Parlemen
Uni Eropa di Brussel menyetujui kebijakan pembatasan dan pengurangan penggunaan
produk minyak kelapa sawit serta impor produk tersebut hingga pemberhentian
penggunaan secara total pada tahun 2030. Kebijakan ini merupakan salah satu
langkah bagi Uni Eropa untuk mengurangi dampak emisi karbon di benua biru
hingga tingkatan yang karbon pada tahun 1990 dapat dicapai pada tahun 2030
serta juga sebagai suatu komitemen terhadap Perjanjian Paris 2015. Disamping
aspek lingkungan, pembatasan terhadap impor dan pengurangan penggunaan produk
kelapa sawit juga berpengaruh terhadap produk bunga rapeseed dari produsen
lokal sebagai bahan baku dari bahan bakar nabati karena nilanya yang murah.
Setengah dari nilai impor produk minyak kelapa sawit sebesar 6 milyar Euro
digunakan sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati.[3]
Pembatasan dari impor produk kelapa sawit Uni Eropa
mendatangkan berbagai respon dari negara-negara produsen kelapa sawit.
Negara-negara tersebut berpendapat bahwa pengesahan kebijakan dari Parlemen Uni
Eropa tersebut sangat tidak adil bagi mereka dan bersifat diskriminasi.[4] Indonesia,
Malaysia dan Thailand secara bersama memperingatkan Uni-Eropa bahwa jika suatu
kebijakan mengenai pembatasan dan pemberhentian penggunaan produk kelapa sawit
tersebut dikesahkan, maka negara-negara tersebut akan melakukan tindakan
balasan (retaliatory measure).
Indonesia sendiri mengancam untuk memberhentikan impor produk bubuk susu dari
Uni-Eropa pada tahun 2017 dan Malaysia mengancam untuk memberhentikan ekspor
produk kelapa sawit pada tahun 2023. Pada tahun 2019, Indonesia menutut
Uni-Eropa melalui Organisasi Perdagangan Dunia (selanjutnya disebut sebagai
WTO) terhadap kebijakan dari Uni-Eropa tersebut.[5]
Terhadap fenomena sengketa dagang produk kelapa sawit
tersebut, dapat ditemukan dua aspek hukum dalam sengketa tersebut, yakni aspek
hukum dagang internasional dan aspek hukum lingkungan internasional. Di dalam
hukum dagang internasional dan juga WTO, suatu bentuk perdagangan internasional
antar negara haruslah bersifat bebas, yang berarti hambatan dalam suatu
perdagangan sebisanya harus dikurangi. Hal ini bertujuan untuk menjamin kemudahan
perdagangan internasional bagi masyarakat secara umum mamupun bagi pelaku
perdagangan internasional. Di samping hal tersebut, perdagangan yang bebas
dapat meningkatkan standar hidup, menyediakan lapangan kerja dan juga
meningkatkan pendapatan per kapita.[6] Dalam kasus
tersebut, kebijakan Uni Eropa untuk membatasi impor serta mengurangi penggunaan
produk kelapa sawit seakan-akan telah menghambat terwujudnya perdagangan bebas
yang menjadi salah satu pilar dari perdagangan internasional.
Sementara di sisi lain, hukum lingkungan internasional
mengatur hal-hal yang berupa persoalan-persoalan lingkungan. Mengingat betapa
pentingnya lingkungan pada masa ini, hukum lingkungan internasional memiliki
kedudukan penting dalam upaya untuk melestarikan, mencegah, ataupun memulihkan
lingkungan serta keanekaragaman hayati.[7] Kebijakan dari
Uni Eropa untuk membatasi impor serta mengurangi penggunaan produk kelapa sawit
sendiri tidaklah tanpa alasan. Melihat kembali, kegiatan perkebunan serta
produksi produk kelapa sawit menimbulkan kerusakan lingkungan yang berat.
Berbagai instrumen hukum internasional memberikan hak dan kewajiban bagi negara
untuk melestarikan lingkungan hidupnya dan hal tersebut menjadi salah satu
prinsip penting dalam hukum lingkungan internasional sendiri.[8]
Terhadap permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk
membuat suatu penelitian hukum. Kasus tersebut menunjukkan adanya hubungan
antara hukum dagang internasional dan hukum lingkungan internasional. Penelitian
ini dilakukan melalui interpretasi hukum mengacu terhadap sumber hukum dan
mekanisme hukum yang berlaku. Hasil dari penelitian ini dilakukan untuk melihat
apakah tindakan Uni Eropa tersebut dapat dibenarkan dalam hukum serta mekanisme
hukum apa saja yang dapat dilakukan terhadap sengketa tersebut.
Analisa
Disinggung sebelumnya, eksistensi hukum dalam perdagangan
internasional memiliki suatu tujuan umum, yakni bebasnya perdagangan. Bebasnya
perdagangan ini menjadi salah satu prinsip dalam perdagangan internasional
semenjak berlakunya Perjanjian Marrakesh 1947 setelah munculnya berbagai
permasalahan perdagangan antar negara yang muncul sebelumnya.[9] Bebasnya
perdagangan memiliki arti bahwa perdagangan tersebut tidak memiliki berbagai
hambatan. Secara umum, hambatan tersebut dapat meliputi kuota, tarif, lisensi
dan sebagainya.[10]
Kebijakan Uni Eropa untuk membatasi produk kelapa sawit
tersebut dapat dianggap sebagai suatu bentuk pembatasan perdagangan antara Uni
Eropa dengan negara produsen produk kelapa sawit tersebut. Disamping prinsip
kebebasan perdagangan itu sendiri, kebijakan yang dikesahkan oleh Uni Eropa tersebut
juga berpotensi bersifat diskriminatif dan melanggar prinsip National
Treatment. Prinsip National Treatment merupakan suatu prinsip dimana
produk domestik dan produk impor tunduk pada peraturan yang sama dalam aspek
peraturan dagang yang dapat mempengaruhi penujalan internal, penawaran, dan
pembelian transportasi, distribusi, atau penggunaan produk.[11]
Produk rapeseed yang merupakan produk lokal Uni Eropa
digunakan sebagai salah bentuk bahan baku untuk bahan bakar nabati. Namun
produk minyak kelapa sawit sendiri memiliki harga yang jauh lebih murah
daripada produk yang berasal dari rapeseed. Karena hal terserbut, produk kelapa
sawit sendiri kerap dipilih sebagai bahan baku bahan bakar nabati.
Konsekuensinya, produk rapeseed domestik terpengaruhi oleh produk kelapa sawit
sebagai suatu produk impor. Pengesahan dari kebijakan tersebut juga merupakan
salah satu upaya untuk melindungi produk rapeseed sebagai suatu produk domestik
yang bersaing.
Melihat kedua produk tersebut, dapat terlihat adanya
potensi kesamaan dari kedua produk tersebut sebagai like product
(kesamaan produk) yang menjadi acuan dalam prinsip non diskriminasi dalam hukum
dagang internasional. Berdasarkan pada Pasal III:2 Bagian 2 Perjanjian GATT (General
Agreement on Trade and Tariff, Perjanjian Umum Terhadap Perdagangan dan
Tarif), like product merupakan produk-produk yang dianggap sebagai
sejenis dan bersaing dengan satu sama lain di dalam suatu pasar.[12] Kriteria dari like
products meliputi kesamaan karaktersitik produk mengacu kepada sifat dan
kualitas produk, adanya kesamaan dalam penggunaan akhir produk, adanya kesamaan
dalam preferensi konsumen yang mengacu kepada selera konsumen, dan ketetntuan
klasifikasi produk dalam tariff clasification dari setiap negara
anggota.[13] Melihat dalam kasus tersebut, kedua produk tersebut
memang dapat dianggap sebagai like products karena keduanya memiliki
berbagai keserupaan dalam penggunaannya serta penggunaan akhir dari kedua
produk tersebut sebagai bahan baku dari bahan bakar nabati.
Di sisi lain, hukum lingkungan internasional memberikan
hak dan kewajiban negara-negara untuk melestarikan lingkungan hidup dan juga
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di dalam ruang yuridiksi mereka. Uni
Eropa sebagai organisasi supranasional yang menaungi anggota-anggota negaranya
memiliki hak dan kewajiban untuk mengesahkan kebijakan preventif terhadap
potensi kerusakan lingkungan.[14] Sementara di sisi lain, negara-negara produsen produk
kelapa sawit juga memiliki kewajiban untuk melindungi lingkungan hidup dan
keanekaragaman hayati mereka. Dalam beberapa instrumen hukum lingkungan
internasional, seperti Prinsip 21 Deklarasi Stockholm dan Pasal 3 Konvensi
Keanekaragaman Hayati 1992 menyebutkan bahwa setiap negara memiliki hak untuk
mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat dalam ruang yuridiksi mereka
sebagai suatu hak kedaulatan mereka. Namun, bersamaan dengan hak ini, setiap negara
juga memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di dalam
yuridiksinya maupun kerusakan yang dapat menyebar hingga ke dalam yuridiksi
negara lainnya.[15]
Melihat terhadap hal tersebut, dapat terlihat secara
sekilas bahwa terdapat eksistensi hubungan dan benturan norma dari kedua cabang
hukum tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa kerap aspek ekonomi dan
perdagangan antar negara tidak lepas dari isu lingkungan hidup.[16] Disalah satu
sisi, hukum perdagangan internasional bertujuan untuk mewujudkan hubungan
perdagangan yang bebas. Kebijakan Uni Eropa sendiri merupakan suatu bentuk
hambatan perdagangan yang tidak hanya merugikan negara eksportir produk kelapa
sawit, namun kebijakan tersebut juga bersifat diskriminatif. Sementara dalam hukum
lingkungan internasional, negara-negara memiliki kewajiban untuk melestarikan lingkungan
hidup mereka. Dalam kasus ini, kewajiban itu melekat bagi Uni Eropa dan
negara-negara produsen produk kelapa sawit.
Walaupun terdapat adanya benturan norma hukum, hubungan
dari kedua aspek hukum ini dapat terlihat dalam instrumen kedua hukum tersebut.
Di dalam GATT terdapat klausa pengecualian atas
kewajiban-kewajiban (exceptional clauses). Klausa pengecualian merupakan
klausa-klausa yang dapat digunakan oleh anggota-anggota WTO untuk menangguhkan
atau menyimpang kewajiban yang terdapat dalam GATT. Tindakan-tindakan dalam klausa ini dapat dilakukan oleh
negara-negara selama langkah-langkah yang dimbil tidak diskriminatif atau
menghambat perdagangan internasional. Klausa-klausa
tersebut meliputi tindakan darurat (emergency action on imports of
particular product, Pasal XIX), pengecualian umum (general exception,
Pasal XX), dan pengecualian keamanan (security exception, Pasal XXI).[17]
Terhadap isu lingkungan, aspek tersebut dapat ditemukan
dalam klausa pengecualian umum. Dalam huruf b dan g, disebutkan bahwa kewajiban
dalam GATT dapat dikesampingkan jika kebijakan suatu negara itu dilakukan atas
kebutuhan untuk melindungi manusia, satwa, tumbuhan, ataupun kesehatan umum
(huruf b), dan berkaitan dengan konservasi sumber daya alam yang tidak terbarui
jika kebijakan tersebut dilakukan bersamaan dengan pembatasan konsumsi
domestik. Klausa tersebut secara umum dapat digunakan sebagai dasar hukum
perlindungan lingkungan dalam aspek perdagangan internasional.
Namun, dasar tersebut menimbulkan suatu permasalahan
hukum jika dihadapkan pada kasus tersebut. Walaupun dalam hukum internasional
mewajibkan negara-negara untuk melestarikan lingkungan hidup mereka, aspek
tersebut tidak diatur secara spesifik dalam GATT. Prinsip kedaulatan yang
merupakan prinsip yang memberikan hak kepada negara atas wilayahnya tetap
berlaku dan hak kedaulatan tersebut dibatasi oleh kedaulatan dari negara lain.[18] Jika dilihat dalam kasus tersebut, kebijakan Uni Eropa
seakan-akan dilakukan karena kebijakan negara-negara produsen produk kelapa
sawit yang tidak mengindahkan aspek perlindungan lingkungan hidup. Perlu juga
diperhatikan bahwa segala bentuk produk impor yang memang tidak memenuhi
standar lingkungan hidup tidak sendirinya dapat menjadi alasan bagi Uni Eropa
untuk menyimpang kewajibannya dalam GATT. Ditambah lagi, salah satu alasan Uni
Eropa untuk mengesahkan pembatasan tersebut juga secara tidak langsung
melindungi produk rapeseed domestik mereka sehingga kebijakan tersebut
merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap prinsip national treatment.
Walaupun demikian, hal tersebut tidak menghapus kewajiban negara-negara
produsen produk minyak kelapa dalam upaya untuk melindungi lingkungan hidup.[19]
Hal-hal serupa dapat ditemukan dalam beberapa kasus
terdahulu. Pada tahun 1991, pengesahan Undang-Undang Perlindungan Mamalia Laut
(US Marine Mammal Protection Act) Amerika Serikat menimbulkan sengketa
dagang antara Amerika Serikat dan Meksiko dan beberapa negara terkait. Dibawah
undang-undang tersebut, negara eksportir tuna ke Amerika Serikat harus dapat
membuktikan bahwa penangkapan tuna yang dilakukan oleh negara eksportir
tersebut harus memenuhi ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut, yakni
penangkapan ikan tuna (yellowfin tuna) tidak boleh juga sampai menangkap
lumba-lumba, karena kerap kelompok ikan tuna tersebut berenang bersamaan dengan
lumba-lumba. Kegagalan untuk membuktikan pemenuhan kewajiban dalam
undang-undang tersebut dapat berakibat pada embargo ekspor tuna ke Amerika
Serikat. Karena kebijakan ini, Meksiko sempat diembargo oleh Amerika Serikat
dan meminta dibuatnya suatu panel GATT. Hasil dari panel tersebut menyimpulkan
bahwa Amerika Serikat tidak dapat mengembargo produk tuna dari Meksiko karena
penangkapan (produksi) tuna tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan yang timbul
dari undang-undang tersebut, walaupun Amerika Serikat masih dapat meregulasi
kualitas dari produk impor tersebut. Disamping hal tersebut, panel juga
menyimpulkan bahwa Amerika Serikat tidak dapat memaksakan peraturan
perundang-undangan mereka kepada negara-negara lain.[20]
Kasus serupa juga dapat ditemukan dalam kasus shrimp-turtle
pada tahun 1997 antara Amerika Serikat dengan India, Pakistan, Malaysia, dan
Thailand. Dalam kasus ini, Amerika Serikat melarang berbagai impor udang
dikarenakan ketetuan yang terkandung dalam Undang-Undang Spesies Langka (Endangered
Species Act) 1973 dan Undang-Undang Publik Amerika Serikat 101-102 Bagian
609 (Section 609 of US Public Law 101-102). Dibawah kedua undang-undang
tersebut, Amerika Serikat melarang impor udang yang ditangkap tanpa ketentuan
yang berlaku. Dibandingkan dengan negara-negara yang menuntut Amerika Serikat,
berbagai negara di Karibia diberikan berbagai bantuan finansial serta teknis
oleh Amerika Serikat. Sehingga impor dari negara-negara Karibia tidak terkena
kebijakan larangan impo. Berbeda dengan kasus sebelumnya, kasus ini dilakukan
di dalam Panel WTO. Dalam konsklusinya, panel tersebut menyebutkan bahwa
kebijakan-kebijakan Amerika Serikat untuk melindungi lingkungan hidup dalam
aspek perdagangan internasional diperbolehkan berdasarkan pada Pasal XX. Namun
Amerika Serikat dalam panel tersebut dianggap telah melanggar ketentuan WTO
dikarenakan adanya diskriminasi atas like product dari Karibia dan
negara-negara penuntut.[21]
Kesimpulan
Konsep perdagangan dan lingkungan memiliki keterkaitan
antara satu sama lain. Berbagai negara bergantung pada eksploitasi sumber daya
alam di suatu lingkungan hidup sebagai salah satu bentuk sumber pemasukan kas. Namun
eksploitasi sumber daya alam tersebut kerap merusak lingkungan hidup yang ada
di sekitarnya. Disisi lain, berkembangnya ilmu pengetahuan menunjukkan dan
mensadarkan masyarakat internasional kini terhadap lingkungan hidup dan upaya perlindungannya.
Hal ini menjadi lebih penting mengingatnya eksistensi dari berbagai
permasalahan lingkungan hidup yang ada, seperti pemanasan global. Dengan
demikian, terdapat benturan kebutuhan negara untuk mengeksploitasi sumber daya
alam dan kewajiban negara untuk melindungi lingkungan hidup mereka.
Salah satu contoh kasus terhadap permasalahan di atas
dapat ditemukan pada kasus sengketa dagang antara Uni Eropa dengan berbagai
negara produsen produk kelapa sawit. Uni Eropa mengeluarkan kebijakan pembatasan
impor dan pengurangan penggunaan produk kelapa sawit sebagai salah satu upaya
komitmen terhadap perlindungan lingkungan hidup di wilayahnya. Uni Eropa
beralasan bahwa produksi dari produk kelapa sawit memiliki dampak yang buruk
terhadap lingkungan hidup. Namun disisi lain, kebijakan ini juga secara tidak
langsung melindungi produk rapeseed domestik sebagai salah satu bahan baku
produksi bahan bakar nabati yang bersaing dengan produk kelapa sawit. Akibatnya
terdapat diskriminasi terhadap produk minyak kelapa sawit sebagai like
product. Karena alasan ini, Indonesia sebagai salah satu negara produsen
produk kelapa sawit menuntut Uni Eropa melalui panel WTO.
Dibawah hukum lingkungan internasional, setiap negara
memiliki kewajiban yang untuk melindungi lingkungan hidup di bawah yuridiksi
mereka masing-masing. Hal serupa juga ditemukan dalam hukum dagang
internasional melalui Pasal XX GATT 1994 mengenai pengecualian umum. Di
dalamnya, setiap negara dapat mengesahkan kebijakan-kebijakan untuk melindungi
lingkungan hidup, disamping juga manusia, satwa, dan kesehatan umum. Namun
terhadap kasus di atas, kebijakan ini harus dilakukan tanpa adanya bentuk
diskriminatif terhadap negara lain dan melanggar prinsip national treatment.
Perlu diperhatikan juga dalam beberapa kasus terdahulu bahwa kebijakan ini juga
tidak dapat dipaksakan kepada negara importir, walaupun negara asal dapat
mengesahkan regulasi mengenai kualitas dari barang impor.
[1] Danur Lambang
Prstiandaru, “Daftar Negara Teratas Pengekspor Minyak Sawit Indonesia”, Kompas
(online), 5 November 2022, https://internasional.kompas.com/read/2022/11/05/220100770/daftar-negara-teratas-tujuan-ekspor-minyak-sawit-indonesia#:~:text=The%20Observatory%20of%20Economic%20Complexity,2021%20sebanyak%2026%2C897%20juta%20ton.
[2] Mike Sanahan, “Palm
Oil: The Pros and Cons of a Controversional Commodity”, https://chinadialogue.net/en/food/11627-palm-oil-the-pros-and-cons-of-a-controversial-commodity/,
4 November 2019, dikujungi pada 30 April 2023.
[3] “EU to Phase Out Palm
Oil from Transport Fuel by 2030”, Reuters (online), 14 Juni 2018, https://www.reuters.com/article/us-eu-climatechange-palmoil-idUSKBN1JA21F
[4] David Hutt, “What are
the EU’s Options in Palm Oil Standoff?”, Deustche Welle (online), 22 Juli
2022, https://www.dw.com/en/what-are-eus-options-in-palm-oil-row-with-malaysia-and-indonesia/a-62564129
[5] “Growing Tensions
Between Asian Palm Oil Producers and the European Union”, Reuters (online),
16 Januari 2023, https://www.reuters.com/markets/commodities/growing-tensions-between-asian-palm-oil-producers-european-union-2023-01-13/
[6] Intan
Soeparna, Hukum Perdagangan Internasional
Dalam World Trade Organization, Airlangga University Press, Surabaya, 2020,
hal. 11.
[7]
Suparto Wijoyo dan A’an Efendi, Hukum
Lingkungan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hal. 27.
[8] Ibid, hal. 86.
[9] Intan
Soeparna, Op. Cit., hal 1.
[10] Eddy
Rinaldy, Denny Ikhlas, dan Ardha Utama, Perdagangan Internasional: Konsep
& Aplikasi, Bumi Aksara, Jakarta, 2018, hal. 18.
[11] Op. Cit., hal.
20.
[12] Damien Neven dan Joel
Trachtman, ‘Philippines-Taxes on Distilled Spirits: Like Products and Market
Definition’, World Trade Review, Vol. 12, No. 2, 2013, hal. 300.
[13] Op. Cit., hal.
16.
[14] Max Valverde Soto,
‘General Principles of International Environmental Law’, ILSA Journal of
Int’l and Comparative Law, Vol. 3, No. 193, 1996, hal. 199.
[15] Sukanda
Husin, Hukum Lingkungan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2016, hal. 168.
[16] Dixon Thompson, ‘Trade,
Resources, and the International Environment’, International Journal,
Vol. 47, No. 4, 1991, hal. 763.
[17] Intan
Soeparna, Op. Cit., hal. 22.
[18]
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT
Alumni, Bandung, 2019, hal. 19.
[19] Andy Rich,
‘International Trade and the Environment: A Seething Antagonism?’, International
Trade Law Journal, Vol. 12, No. 2, 2003, hal. 18.
[20] “Mexico etc Versus US:
‘Tuna Dolphin Case’ ”, https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/edis04_e.htm#:~:text=The%20panel%20reported%20to%20GATT,content%20of%20the%20tuna%20imported.,
dikunjungi pada 30 April 2023.
[21] “India etc Versus US: ‘Shrimp-Turtle’
”, https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/edis08_e.htm., dikunjungi pada
30 April 2023.