Senin, 31 Juli 2023

SENGKETA TERKAIT PEMBATASAN IMPOR MINYAK KELAPA SAWIT UNI EROPA DALAM RUANG LINGKUP HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL DAN HUKUM DAGANG INTERNASIONAL

Miftahur Rohman


 


 

Pendahuluan

Konsep perdagangan dan lingkungan jarang sekali dapat dipisahkan. Dalam ruang lingkup dunia internasional, banyak negara seringkali bergantung kepada sumber daya alam yang dimilikinya sebagai salah satu sumber utama penghasilannya. Bagi Indonesia, salah satu komoditas ekspor utama adalah produk kelapa sawit. Tidak hanya demikian, Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2020, Indonesia berkontribusi dalam memenuhi 46,8% kebutuhan kelapa sawit di dunia serta juga memproduksi 26,897 juta ton produk pada tahun 2021.[1] Tidak terbatas pada Indonesia saja, berbagai negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand juga memiliki perkebunan kelapa sawit serta industri minyak kelapa sawit dengan skala yang juga besar.

Namun disisi lain, masifnya usaha perkebunan kelapa sawit serta produksi minyaknya tentu saja menimbulkan berbagai dampak samping yang buruk, terutama terhadap lingkungan. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit kerap kali dilakukan di suatu daerah yang sebelumnya merupakan hutan. Pembukaan tersebut mengakibatkan perlepasan 60% karbon yang sebelumnya terdapat di dalam hutan itu ke atmosfir, sehingga berkonstribusi pada pemanasan global. Setiap hektar pembukaan suatu lahan perkebunan sawit dapat melepaskan 174 ton karbon dioksida. Tidak hanya sebatas pada hal tersebut, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit juga berakibat pada rusaknya keanekaragaman suatu daerah dan juga hilangnya habitat bagi satwa-satwa yang di dalamnya.[2]

Permasalahan ini, disamping juga masalah-masalah lingkungan lain, menjadi salah satu hal yang mendorong dibentuknya berbagai kebijakan-kebijakan lingkungan di dunia yang semakin sadar akan kelestarian lingkungan. Terhadap produksi produk-produk minyak kelapa sawit (atau dapat juga disebut sebagai crude palm oil, atau CPO), salah satu kebijakan yang dibuat dapat ditemukan di Uni Eropa. Pada tahun 2017, Parlemen Uni Eropa di Brussel menyetujui kebijakan pembatasan dan pengurangan penggunaan produk minyak kelapa sawit serta impor produk tersebut hingga pemberhentian penggunaan secara total pada tahun 2030. Kebijakan ini merupakan salah satu langkah bagi Uni Eropa untuk mengurangi dampak emisi karbon di benua biru hingga tingkatan yang karbon pada tahun 1990 dapat dicapai pada tahun 2030 serta juga sebagai suatu komitemen terhadap Perjanjian Paris 2015. Disamping aspek lingkungan, pembatasan terhadap impor dan pengurangan penggunaan produk kelapa sawit juga berpengaruh terhadap produk bunga rapeseed dari produsen lokal sebagai bahan baku dari bahan bakar nabati karena nilanya yang murah. Setengah dari nilai impor produk minyak kelapa sawit sebesar 6 milyar Euro digunakan sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati.[3]

Pembatasan dari impor produk kelapa sawit Uni Eropa mendatangkan berbagai respon dari negara-negara produsen kelapa sawit. Negara-negara tersebut berpendapat bahwa pengesahan kebijakan dari Parlemen Uni Eropa tersebut sangat tidak adil bagi mereka dan bersifat diskriminasi.[4] Indonesia, Malaysia dan Thailand secara bersama memperingatkan Uni-Eropa bahwa jika suatu kebijakan mengenai pembatasan dan pemberhentian penggunaan produk kelapa sawit tersebut dikesahkan, maka negara-negara tersebut akan melakukan tindakan balasan (retaliatory measure). Indonesia sendiri mengancam untuk memberhentikan impor produk bubuk susu dari Uni-Eropa pada tahun 2017 dan Malaysia mengancam untuk memberhentikan ekspor produk kelapa sawit pada tahun 2023. Pada tahun 2019, Indonesia menutut Uni-Eropa melalui Organisasi Perdagangan Dunia (selanjutnya disebut sebagai WTO) terhadap kebijakan dari Uni-Eropa tersebut.[5]

Terhadap fenomena sengketa dagang produk kelapa sawit tersebut, dapat ditemukan dua aspek hukum dalam sengketa tersebut, yakni aspek hukum dagang internasional dan aspek hukum lingkungan internasional. Di dalam hukum dagang internasional dan juga WTO, suatu bentuk perdagangan internasional antar negara haruslah bersifat bebas, yang berarti hambatan dalam suatu perdagangan sebisanya harus dikurangi. Hal ini bertujuan untuk menjamin kemudahan perdagangan internasional bagi masyarakat secara umum mamupun bagi pelaku perdagangan internasional. Di samping hal tersebut, perdagangan yang bebas dapat meningkatkan standar hidup, menyediakan lapangan kerja dan juga meningkatkan pendapatan per kapita.[6] Dalam kasus tersebut, kebijakan Uni Eropa untuk membatasi impor serta mengurangi penggunaan produk kelapa sawit seakan-akan telah menghambat terwujudnya perdagangan bebas yang menjadi salah satu pilar dari perdagangan internasional.

Sementara di sisi lain, hukum lingkungan internasional mengatur hal-hal yang berupa persoalan-persoalan lingkungan. Mengingat betapa pentingnya lingkungan pada masa ini, hukum lingkungan internasional memiliki kedudukan penting dalam upaya untuk melestarikan, mencegah, ataupun memulihkan lingkungan serta keanekaragaman hayati.[7] Kebijakan dari Uni Eropa untuk membatasi impor serta mengurangi penggunaan produk kelapa sawit sendiri tidaklah tanpa alasan. Melihat kembali, kegiatan perkebunan serta produksi produk kelapa sawit menimbulkan kerusakan lingkungan yang berat. Berbagai instrumen hukum internasional memberikan hak dan kewajiban bagi negara untuk melestarikan lingkungan hidupnya dan hal tersebut menjadi salah satu prinsip penting dalam hukum lingkungan internasional sendiri.[8]

Terhadap permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk membuat suatu penelitian hukum. Kasus tersebut menunjukkan adanya hubungan antara hukum dagang internasional dan hukum lingkungan internasional. Penelitian ini dilakukan melalui interpretasi hukum mengacu terhadap sumber hukum dan mekanisme hukum yang berlaku. Hasil dari penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah tindakan Uni Eropa tersebut dapat dibenarkan dalam hukum serta mekanisme hukum apa saja yang dapat dilakukan terhadap sengketa tersebut.

Analisa

Disinggung sebelumnya, eksistensi hukum dalam perdagangan internasional memiliki suatu tujuan umum, yakni bebasnya perdagangan. Bebasnya perdagangan ini menjadi salah satu prinsip dalam perdagangan internasional semenjak berlakunya Perjanjian Marrakesh 1947 setelah munculnya berbagai permasalahan perdagangan antar negara yang muncul sebelumnya.[9] Bebasnya perdagangan memiliki arti bahwa perdagangan tersebut tidak memiliki berbagai hambatan. Secara umum, hambatan tersebut dapat meliputi kuota, tarif, lisensi dan sebagainya.[10]

Kebijakan Uni Eropa untuk membatasi produk kelapa sawit tersebut dapat dianggap sebagai suatu bentuk pembatasan perdagangan antara Uni Eropa dengan negara produsen produk kelapa sawit tersebut. Disamping prinsip kebebasan perdagangan itu sendiri, kebijakan yang dikesahkan oleh Uni Eropa tersebut juga berpotensi bersifat diskriminatif dan melanggar prinsip National Treatment. Prinsip National Treatment merupakan suatu prinsip dimana produk domestik dan produk impor tunduk pada peraturan yang sama dalam aspek peraturan dagang yang dapat mempengaruhi penujalan internal, penawaran, dan pembelian transportasi, distribusi, atau penggunaan produk.[11]

Produk rapeseed yang merupakan produk lokal Uni Eropa digunakan sebagai salah bentuk bahan baku untuk bahan bakar nabati. Namun produk minyak kelapa sawit sendiri memiliki harga yang jauh lebih murah daripada produk yang berasal dari rapeseed. Karena hal terserbut, produk kelapa sawit sendiri kerap dipilih sebagai bahan baku bahan bakar nabati. Konsekuensinya, produk rapeseed domestik terpengaruhi oleh produk kelapa sawit sebagai suatu produk impor. Pengesahan dari kebijakan tersebut juga merupakan salah satu upaya untuk melindungi produk rapeseed sebagai suatu produk domestik yang bersaing.

Melihat kedua produk tersebut, dapat terlihat adanya potensi kesamaan dari kedua produk tersebut sebagai like product (kesamaan produk) yang menjadi acuan dalam prinsip non diskriminasi dalam hukum dagang internasional. Berdasarkan pada Pasal III:2 Bagian 2 Perjanjian GATT (General Agreement on Trade and Tariff, Perjanjian Umum Terhadap Perdagangan dan Tarif), like product merupakan produk-produk yang dianggap sebagai sejenis dan bersaing dengan satu sama lain di dalam suatu pasar.[12] Kriteria dari like products meliputi kesamaan karaktersitik produk mengacu kepada sifat dan kualitas produk, adanya kesamaan dalam penggunaan akhir produk, adanya kesamaan dalam preferensi konsumen yang mengacu kepada selera konsumen, dan ketetntuan klasifikasi produk dalam tariff clasification dari setiap negara anggota.[13] Melihat dalam kasus tersebut, kedua produk tersebut memang dapat dianggap sebagai like products karena keduanya memiliki berbagai keserupaan dalam penggunaannya serta penggunaan akhir dari kedua produk tersebut sebagai bahan baku dari bahan bakar nabati.

Di sisi lain, hukum lingkungan internasional memberikan hak dan kewajiban negara-negara untuk melestarikan lingkungan hidup dan juga mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di dalam ruang yuridiksi mereka. Uni Eropa sebagai organisasi supranasional yang menaungi anggota-anggota negaranya memiliki hak dan kewajiban untuk mengesahkan kebijakan preventif terhadap potensi kerusakan lingkungan.[14] Sementara di sisi lain, negara-negara produsen produk kelapa sawit juga memiliki kewajiban untuk melindungi lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati mereka. Dalam beberapa instrumen hukum lingkungan internasional, seperti Prinsip 21 Deklarasi Stockholm dan Pasal 3 Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992 menyebutkan bahwa setiap negara memiliki hak untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat dalam ruang yuridiksi mereka sebagai suatu hak kedaulatan mereka. Namun, bersamaan dengan hak ini, setiap negara juga memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di dalam yuridiksinya maupun kerusakan yang dapat menyebar hingga ke dalam yuridiksi negara lainnya.[15]

Melihat terhadap hal tersebut, dapat terlihat secara sekilas bahwa terdapat eksistensi hubungan dan benturan norma dari kedua cabang hukum tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa kerap aspek ekonomi dan perdagangan antar negara tidak lepas dari isu lingkungan hidup.[16] Disalah satu sisi, hukum perdagangan internasional bertujuan untuk mewujudkan hubungan perdagangan yang bebas. Kebijakan Uni Eropa sendiri merupakan suatu bentuk hambatan perdagangan yang tidak hanya merugikan negara eksportir produk kelapa sawit, namun kebijakan tersebut juga bersifat diskriminatif. Sementara dalam hukum lingkungan internasional, negara-negara memiliki kewajiban untuk melestarikan lingkungan hidup mereka. Dalam kasus ini, kewajiban itu melekat bagi Uni Eropa dan negara-negara produsen produk kelapa sawit.

Walaupun terdapat adanya benturan norma hukum, hubungan dari kedua aspek hukum ini dapat terlihat dalam instrumen kedua hukum tersebut. Di dalam GATT terdapat klausa pengecualian atas kewajiban-kewajiban (exceptional clauses). Klausa pengecualian merupakan klausa-klausa yang dapat digunakan oleh anggota-anggota WTO untuk menangguhkan atau menyimpang kewajiban yang terdapat dalam GATT. Tindakan-tindakan dalam klausa ini dapat dilakukan oleh negara-negara selama langkah-langkah yang dimbil tidak diskriminatif atau menghambat perdagangan internasional. Klausa-klausa tersebut meliputi tindakan darurat (emergency action on imports of particular product, Pasal XIX), pengecualian umum (general exception, Pasal XX), dan pengecualian keamanan (security exception, Pasal XXI).[17]

Terhadap isu lingkungan, aspek tersebut dapat ditemukan dalam klausa pengecualian umum. Dalam huruf b dan g, disebutkan bahwa kewajiban dalam GATT dapat dikesampingkan jika kebijakan suatu negara itu dilakukan atas kebutuhan untuk melindungi manusia, satwa, tumbuhan, ataupun kesehatan umum (huruf b), dan berkaitan dengan konservasi sumber daya alam yang tidak terbarui jika kebijakan tersebut dilakukan bersamaan dengan pembatasan konsumsi domestik. Klausa tersebut secara umum dapat digunakan sebagai dasar hukum perlindungan lingkungan dalam aspek perdagangan internasional.

Namun, dasar tersebut menimbulkan suatu permasalahan hukum jika dihadapkan pada kasus tersebut. Walaupun dalam hukum internasional mewajibkan negara-negara untuk melestarikan lingkungan hidup mereka, aspek tersebut tidak diatur secara spesifik dalam GATT. Prinsip kedaulatan yang merupakan prinsip yang memberikan hak kepada negara atas wilayahnya tetap berlaku dan hak kedaulatan tersebut dibatasi oleh kedaulatan dari negara lain.[18] Jika dilihat dalam kasus tersebut, kebijakan Uni Eropa seakan-akan dilakukan karena kebijakan negara-negara produsen produk kelapa sawit yang tidak mengindahkan aspek perlindungan lingkungan hidup. Perlu juga diperhatikan bahwa segala bentuk produk impor yang memang tidak memenuhi standar lingkungan hidup tidak sendirinya dapat menjadi alasan bagi Uni Eropa untuk menyimpang kewajibannya dalam GATT. Ditambah lagi, salah satu alasan Uni Eropa untuk mengesahkan pembatasan tersebut juga secara tidak langsung melindungi produk rapeseed domestik mereka sehingga kebijakan tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap prinsip national treatment. Walaupun demikian, hal tersebut tidak menghapus kewajiban negara-negara produsen produk minyak kelapa dalam upaya untuk melindungi lingkungan hidup.[19]

Hal-hal serupa dapat ditemukan dalam beberapa kasus terdahulu. Pada tahun 1991, pengesahan Undang-Undang Perlindungan Mamalia Laut (US Marine Mammal Protection Act) Amerika Serikat menimbulkan sengketa dagang antara Amerika Serikat dan Meksiko dan beberapa negara terkait. Dibawah undang-undang tersebut, negara eksportir tuna ke Amerika Serikat harus dapat membuktikan bahwa penangkapan tuna yang dilakukan oleh negara eksportir tersebut harus memenuhi ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut, yakni penangkapan ikan tuna (yellowfin tuna) tidak boleh juga sampai menangkap lumba-lumba, karena kerap kelompok ikan tuna tersebut berenang bersamaan dengan lumba-lumba. Kegagalan untuk membuktikan pemenuhan kewajiban dalam undang-undang tersebut dapat berakibat pada embargo ekspor tuna ke Amerika Serikat. Karena kebijakan ini, Meksiko sempat diembargo oleh Amerika Serikat dan meminta dibuatnya suatu panel GATT. Hasil dari panel tersebut menyimpulkan bahwa Amerika Serikat tidak dapat mengembargo produk tuna dari Meksiko karena penangkapan (produksi) tuna tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan yang timbul dari undang-undang tersebut, walaupun Amerika Serikat masih dapat meregulasi kualitas dari produk impor tersebut. Disamping hal tersebut, panel juga menyimpulkan bahwa Amerika Serikat tidak dapat memaksakan peraturan perundang-undangan mereka kepada negara-negara lain.[20]

Kasus serupa juga dapat ditemukan dalam kasus shrimp-turtle pada tahun 1997 antara Amerika Serikat dengan India, Pakistan, Malaysia, dan Thailand. Dalam kasus ini, Amerika Serikat melarang berbagai impor udang dikarenakan ketetuan yang terkandung dalam Undang-Undang Spesies Langka (Endangered Species Act) 1973 dan Undang-Undang Publik Amerika Serikat 101-102 Bagian 609 (Section 609 of US Public Law 101-102). Dibawah kedua undang-undang tersebut, Amerika Serikat melarang impor udang yang ditangkap tanpa ketentuan yang berlaku. Dibandingkan dengan negara-negara yang menuntut Amerika Serikat, berbagai negara di Karibia diberikan berbagai bantuan finansial serta teknis oleh Amerika Serikat. Sehingga impor dari negara-negara Karibia tidak terkena kebijakan larangan impo. Berbeda dengan kasus sebelumnya, kasus ini dilakukan di dalam Panel WTO. Dalam konsklusinya, panel tersebut menyebutkan bahwa kebijakan-kebijakan Amerika Serikat untuk melindungi lingkungan hidup dalam aspek perdagangan internasional diperbolehkan berdasarkan pada Pasal XX. Namun Amerika Serikat dalam panel tersebut dianggap telah melanggar ketentuan WTO dikarenakan adanya diskriminasi atas like product dari Karibia dan negara-negara penuntut.[21]

Kesimpulan

Konsep perdagangan dan lingkungan memiliki keterkaitan antara satu sama lain. Berbagai negara bergantung pada eksploitasi sumber daya alam di suatu lingkungan hidup sebagai salah satu bentuk sumber pemasukan kas. Namun eksploitasi sumber daya alam tersebut kerap merusak lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Disisi lain, berkembangnya ilmu pengetahuan menunjukkan dan mensadarkan masyarakat internasional kini terhadap lingkungan hidup dan upaya perlindungannya. Hal ini menjadi lebih penting mengingatnya eksistensi dari berbagai permasalahan lingkungan hidup yang ada, seperti pemanasan global. Dengan demikian, terdapat benturan kebutuhan negara untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan kewajiban negara untuk melindungi lingkungan hidup mereka.

Salah satu contoh kasus terhadap permasalahan di atas dapat ditemukan pada kasus sengketa dagang antara Uni Eropa dengan berbagai negara produsen produk kelapa sawit. Uni Eropa mengeluarkan kebijakan pembatasan impor dan pengurangan penggunaan produk kelapa sawit sebagai salah satu upaya komitmen terhadap perlindungan lingkungan hidup di wilayahnya. Uni Eropa beralasan bahwa produksi dari produk kelapa sawit memiliki dampak yang buruk terhadap lingkungan hidup. Namun disisi lain, kebijakan ini juga secara tidak langsung melindungi produk rapeseed domestik sebagai salah satu bahan baku produksi bahan bakar nabati yang bersaing dengan produk kelapa sawit. Akibatnya terdapat diskriminasi terhadap produk minyak kelapa sawit sebagai like product. Karena alasan ini, Indonesia sebagai salah satu negara produsen produk kelapa sawit menuntut Uni Eropa melalui panel WTO.

Dibawah hukum lingkungan internasional, setiap negara memiliki kewajiban yang untuk melindungi lingkungan hidup di bawah yuridiksi mereka masing-masing. Hal serupa juga ditemukan dalam hukum dagang internasional melalui Pasal XX GATT 1994 mengenai pengecualian umum. Di dalamnya, setiap negara dapat mengesahkan kebijakan-kebijakan untuk melindungi lingkungan hidup, disamping juga manusia, satwa, dan kesehatan umum. Namun terhadap kasus di atas, kebijakan ini harus dilakukan tanpa adanya bentuk diskriminatif terhadap negara lain dan melanggar prinsip national treatment. Perlu diperhatikan juga dalam beberapa kasus terdahulu bahwa kebijakan ini juga tidak dapat dipaksakan kepada negara importir, walaupun negara asal dapat mengesahkan regulasi mengenai kualitas dari barang impor.

 



[1] Danur Lambang Prstiandaru, “Daftar Negara Teratas Pengekspor Minyak Sawit Indonesia”, Kompas (online), 5 November 2022, https://internasional.kompas.com/read/2022/11/05/220100770/daftar-negara-teratas-tujuan-ekspor-minyak-sawit-indonesia#:~:text=The%20Observatory%20of%20Economic%20Complexity,2021%20sebanyak%2026%2C897%20juta%20ton.

[2] Mike Sanahan, “Palm Oil: The Pros and Cons of a Controversional Commodity”, https://chinadialogue.net/en/food/11627-palm-oil-the-pros-and-cons-of-a-controversial-commodity/, 4 November 2019, dikujungi pada 30 April 2023.

[3] “EU to Phase Out Palm Oil from Transport Fuel by 2030”, Reuters (online), 14 Juni 2018, https://www.reuters.com/article/us-eu-climatechange-palmoil-idUSKBN1JA21F

[4] David Hutt, “What are the EU’s Options in Palm Oil Standoff?”, Deustche Welle (online), 22 Juli 2022, https://www.dw.com/en/what-are-eus-options-in-palm-oil-row-with-malaysia-and-indonesia/a-62564129

[5] “Growing Tensions Between Asian Palm Oil Producers and the European Union”, Reuters (online), 16 Januari 2023, https://www.reuters.com/markets/commodities/growing-tensions-between-asian-palm-oil-producers-european-union-2023-01-13/

[6] Intan Soeparna, Hukum Perdagangan Internasional Dalam World Trade Organization, Airlangga University Press, Surabaya, 2020, hal. 11.

[7] Suparto Wijoyo dan A’an Efendi, Hukum Lingkungan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hal. 27.

[8] Ibid, hal. 86.

[9] Intan Soeparna, Op. Cit., hal 1.

[10] Eddy Rinaldy, Denny Ikhlas, dan Ardha Utama, Perdagangan Internasional: Konsep & Aplikasi, Bumi Aksara, Jakarta, 2018, hal. 18.

[11] Op. Cit., hal. 20.

[12] Damien Neven dan Joel Trachtman, ‘Philippines-Taxes on Distilled Spirits: Like Products and Market Definition’, World Trade Review, Vol. 12, No. 2, 2013, hal. 300.

[13] Op. Cit., hal. 16.

[14] Max Valverde Soto, ‘General Principles of International Environmental Law’, ILSA Journal of Int’l and Comparative Law, Vol. 3, No. 193, 1996, hal. 199.

[15] Sukanda Husin, Hukum Lingkungan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016, hal. 168.

[16] Dixon Thompson, ‘Trade, Resources, and the International Environment’, International Journal, Vol. 47, No. 4, 1991, hal. 763.

[17] Intan Soeparna, Op. Cit., hal. 22.

[18] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni, Bandung, 2019, hal. 19.

[19] Andy Rich, ‘International Trade and the Environment: A Seething Antagonism?’, International Trade Law Journal, Vol. 12, No. 2, 2003, hal. 18.

[20] “Mexico etc Versus US: ‘Tuna Dolphin Case’ ”, https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/edis04_e.htm#:~:text=The%20panel%20reported%20to%20GATT,content%20of%20the%20tuna%20imported., dikunjungi pada 30 April 2023.

[21] “India etc Versus US: ‘Shrimp-Turtle’ ”, https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/edis08_e.htm., dikunjungi pada 30 April 2023.